Fiction
Thousand Languages Issue 3
Saat Kau Tua Dan Aku Renta
Asri Nurul QodriDiambang jendela dapur berjajar bermacam obat. Satu demi satu pil mu ku hitung dan ku letakkan di meja. Ku tuang untukmu segelas air jeruk. Ku seduhkan kopi. Aku bisa mendengarmu di kamar mandi, melakukan ritual bersolek harianmu. Terdengar air keran mengalir, pengering rambut berhembus, peralatan berhiasmu bergemerincing di wastafel. Ada serangkai bunga tulip di meja, sisa perayaan hari jadi kita. Kuncupnya sudah tampak lebih berat dari tangkainya. Kau pernah mengatakan bunga tulip itu terlihat paling indah ketika mulai melayu. Dahulu, setangkai tulip hanyalah setangkai tulip. Dahulu kala, di masa yang tak lagi dapat kuingat, masa dimana belum ada dirimu di hidupku. Sebelum cintamu pada sebuah bunga tumpah ruah ke dalam hidupku. Dengan cara ini, sesuatu yang sederhana, sesuatu yang alami, sesuatu yang biasa, menjelma penuh makna. Aku tahu banyak tentang bunga tulip, tapi tak akan kudongengkan semua saat ini. Di benakku, terbayangkan cara mereka berdesak-desakan, seolah berlomba mencari perhatian untuk dibeli-kompetisi yang hanya sebatas metafora-namun yang terpenting dari semua ini adalah kau mencintai bunga ini, dan aku mencintaimu. Aku selalu mengira hanya buku- bukulah yang akan menemaniku. Meskipun faktanya demikian-buku-buku itu menyelimuti tungku perapian, berserakan di ruang tidur, memenuhi dinding. Namun, entah mengapa, buku-buku itu tak lagi menjadi kebenaran sejati. Dan aku bahagia akan itu. Aku bisa mendengarmu melangkah perlahan di lorong. Kau akan berkeluh kesah tentang obat yang harus kau minum setiap pagi. Kau akan menggoyangkan kepalamu sebagaimana caramu saat meminum sari buah. Dan kau akan duduk di meja makan, di tempat yang sama aku biasa duduk menikmati kopi, melahap pisang, dan membaca buku. Jika ada pose ku yang khas, momen dimana aku jadi diri sendiri, itu adalah: saat aku sedang membaca, tapi tidak benar-benar membaca, saat aku mengantisipasi kedatanganmu ke dalam kamar dan menegadah dari buku terlalu cepat. Aku tak berpikir tentang waktu yang telah kita habiskan bersama, karena ia tak bisa diukur dengan takaran pisang, buku, bahkan tulip. Tapi setelah bertahun-tahun, momen ini masih memberiku kesenangan. Komentarmu tentang tulip-tulip itu saat kau memasuki dapur. Betapa indahnya mereka, di situ, diatas meja itu, melayu di bibir vas dan perlahan mati: sang tulip, menunduk dalam keanggunan.
Share This Indonesian Translation